Blog Hadijah
Rabu, 27 Maret 2013
Minggu, 03 Maret 2013
Kisah
Anak Penjelajah
Dikisahkan ada
satu kelompok yang terdiri dari beberapa orang anak yang sering
menjelajahi banyak tempat. Seperti biasanya sehabis pulang sekolah mereka pergi
ke suatu tempat
Didi : Teman-teman, kita mau jalan-jalan kemana
lagi nih? Semalam dah ke ladang
pak Koko, sekarang mau ke mana?
Dini : Hmm ... bagaimana kalau kita ke pantai?
Sekalian kita mengunjungi keramba pamanku
Putri : Ya
udah
Ayu : Ok
Bima : Ok juga tuh
Lia :
Terserah aja deh. Yang penting bisa jalan-jalan
Lina : Hmm
(mengangguk)
Ketika sampai di pantai , mereka saling bertanya-tanya
satu sama lain
Dini : Siapa yang masih ingat berapa bagian besar
perairan dan darata yag ada di bumi?
Putri : Hmm aku lupa , Din!
Bima : Perairan
2/3 dan daratan 1/3.........hmm
Lia : Jadi yng besar yang mana ,ya?
Lina : Ya
perairan lah. Kan perairan yang ada di bumi sebagian besarnya adalah lautan
Semuanya bertepuk tangan bergembira
Lia : Apakah hanya di bumi yang ada kehidupan?
Putri : Ya iya
lah
Kan kan hanya di
bumi yang ada oksigen dan air sebagai sumber kehidupan
Ayu : Berarti hanya di bumi yang ada kehidupan ,
benarkan?
Didi : Ya dong
Sambil berjalan di pinggir pantai mereka melihat banyak
perahu nelayan Didi pun mendapat sebuah pertanyaan
Didi : Sejak
kapan mulai ada kegiatan berlayar?
Lia ; Ya sejak zaman nenek moyang kita lah
Emangnya kamu gak
ingat lagu “nenek moyangku seorang pelaut”(dinyanyikan)
Bima : Kalau
begitu kita nyanyi sama –sama yuk
Lina: Satu, dua,
tiga!!!
(Nyanyi
bersama-sama)
Dini : Nah
kebetulan ada perahu pamanku!
Putri : Ya udah
kalau gitu tunggu apa lagi?!
Dini : Bang bisa
antarkan kami ke keramba Paman ? Teman-teman ingin lihat keramba Paman dan
ikan-ikan yang ada di sana
Bang Tino: Ya
udah
Kebetulan abang
ingin kesana juga
Setelah menuggu beberapa lama, akhirnya mereka sampai ke
keramba Paman si Dini
Bang Tino: Nah,
kita dah sampai di keramba
Dini : Paman
.......!
Paman : Eh ada
Dini dan Teman-teman, ada yang bisa Paman bantu?
Dini : Kami cuma mau lihat ikan-ikan yang ada di
sini
Teman-teman Dini
: Iya Paman
Boleh kan Paman?
Paman : Oh ,
tentu saja boleh
Silahkan
lihat-lihat!
Teman-teman dini
: Terima kasih Paman....
Paman: Ya
sama-sama
Bima : Ini ikan
Kerapuh ya Paman?
Paman : Iya
Nah lihat ! Ini
adalah ikan Kakap Merah
Daging ikan
Kerapuh dan Kakap Merah sangat enak
Kalian lebih suka
yang mana?
Semuanya: Ikan
Kakap Merah
Paman : Ya udah.
Nanti Paman kasih beberapa ikan Kakap Merahnya untuk kalian
Semuanya: Terima
kasih Paman
Setelah sudah puas melihat ikan-ikan yang di budidayakan
Paman si Dini, mereka pun pamit pulang
dengan membawa beberapa ikan kerapuh yang di berikan oleh Paman si Dini
Didi : Paman,
kami pulang dulu ya
Ayu : Iya Paman
Terima kasih atas
pemberiannya ya Paman
Dini : Paman
jangan sungkan-sungkan datang ke rumah Dini ya Paman ?
Paman : Iya,
hati-hati di jalan ya?
Semuanya: Ya
Paman
Kami pulang dulu
ya Paman?
Paman : Iya
Setelah sampai di tepi pantai dengan perahu yang di bawa
oleh Bang Tino mereka langsung pulang ke rumah mereka dengan menempuh jalur
yang sama, mereka pun menyanyikan satu lagu lagi
---oOo---
Sabtu, 02 Maret 2013
Cerpen Hadijah Nur Islami Siregar,SMPN-1 Lubuk Pakam
Antara Aku, Bang Fazri dan Kak Cindy
-----------------------------------------------
Oleh : Hadijah Nur Islami Siregar
Namaku Nur Ikhwani. Biasa
dipanggil Nuri. Kata ayahku, ‘nur’ berarti cahaya. Sedangkan ‘ikhwani’ artinya saudaraku.
Aku
merupakan putri sulung dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Sebagai
anak pertama, menurut penuturan ayah, dengan nama yang ku sandang itu beliau
berharap agar aku dapat menjadi ‘cahaya’ bagi ‘saudara-saudaraku’. Bahkan
‘cahaya persaudaraan’ pada umumnya. Aku sangat bangga karena mempunyai nama
yang memiliki makna yang sangat mendamaikan dan berusaha agar nama tidak hanya
menjadi pajangan tanpa dapat menunjukkan arti dan mewujudkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Saat
ini aku adalah seorang siswi di SMP Negeri 1 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli
Serdang, Sumatera Utara. Tepatnya, aku duduk di bangku kelas VII Bilingual-1.
Sebuah kelas di mana kegiatan belajar mengajarnya menggunakan dua bahasa, yakni
bahasa Inggris dan Indonesia. Karena kami masih kelas VII , jadi masih lebih
sering memakai bahasa Indonesianya.
Memasuki
bulan kedua bersekolah di SMP aku berkenalan dengan seorang ‘abangkelas’. Ketika
itu, oleh karena tak sempat sarapan di rumah maka begitu bel tanda istirahat
pertama berbunyi, secara spontan aku bergegas menuju kantin. Aku menjadi orang
pertama yang sampai di sana. Perutku benar-benar keroncongan minta diisi.
Segera ku pesan sepiring
lontong sayur kepada Ibu Kantin. Dan tak lama kemudian beliaupun menyodorkan
pesanan itu ke hadapanku. Tentu saja aku pun langsung menyantapnya tanpa menghiraukan
lagi suasana kantin yang mulai dipenuhi kerumunan siswa-siswi yang lain.
“Wah, enak sekali makannya, ya
Dik”. Tiba-tiba terdengar sapaan yang ditujukan kepadaku.
Dengan sedikit tersipu malu
aku menengadahkan wajah untuk menatap si pemilik suara. Ternyata dia adalah seorang
cowok yang duduk persis di depanku. Di bajunya tersemat gambar bintang sebanyak
tiga buah dan berwarna hijau yang menunjukkan bahwa ia sudah kelas sembilan.Senyumnya
yang simpati dan gayanya yang ramah serta wajahnya yang tampan membuatku jadi
serba salah
“He-he-he, iya Bang. Tadi gak
sempat sarapan”, ucapku seadanya, sembari menyeruput beberapa teguk air putih
dari dalam gelas yang sebelumnya telah aku persiapkan.
“O ya, Abang udah pesan makanan
? Nanti keburu bel masuk lho !?” lanjutku beberapa detik kemudian. “Lagi pula
sudah hampir habis makanan yang ada di kantin,” lanjutku dengan tergesa-gesa.
“Cuma beli roti aja. Nih, baru
habis juga,” jawabnya sambil memperlihatkan sebuah plastik bekas bungkus roti berukuran
agak besar yang berada di tangan kanannya. Sekali lagi aku tersipu malu. Sebab
itu berarti sudah lumayan lama pula ia duduk dan memperhatikanku sewaktu
melahap sepiring lontong tadi.
“Nama Abang, Fazri. Kalau Adik,
siapa ?”
“Nur Ikhwani, Bang”, jawabku
sedikit gugup.
Selanjutnya kami pun ngobrol tentang
berbagai hal. Terutama yang berkaitan dengan keadaan di sekolah. Tentang sesiapa
dan bagaimana sifat guru ini dan guru itu yang mengajar di kelas masing-masing.
Saling bertanya dan saling menjawab. Bahkan sama sekali tanpa rasa canggung dan
sungkan-sungkan lagi. Seakan-akan kami telah saling mengenal sejak lama. Hingga
tak terasa, bel tanda jam istirahat berakhir baru saja berdering dan kami harus
segera beranjak meninggalkan kantin untuk kembali ke ruang kelas.
Hari-hari berikutnya
hubunganku dengan Bang Fazri pun bertambah dekat dan kian akrab. Semakin sering
ia sengaja menemuiku. Malah akhir-akhir ini hampir tiap hari. Entah itu di
kantin sekolah atau terkadang datang ke kelasku pada jam-jam istirahat sedang berlangsung.
Bahkan tak jarang pula ia mengantarkan aku pulang ke rumahku. Dan sering pula
ia mengajariku materi-materi pelajaran yang sulit aku megerti. Dengan sangat
sabar ia menjelaskan materi pelajaranku itu.
Pernah dia bercerita padaku
bahwa dia sudah menganggapku sebagai anggota dari keluarganya sendiri. bahkan
dia sendiri berkata kalau pintu rumahnya selalu terbuka untukku. Aku
memandangnya sebagai orang yang mandiri dan berpikiran dewasa. Dan sifatnya
sangat santun kepada siapa pun.
Hari-haripun berlalu tanpa
terasa .Kami menjadi semakin dekat dan terus bertambah akrab . Di mana ada Bang
Fazri, di situ pasti ada aku.
Pernah ada teman yang bertanya
tentang hubunganku dengan Bang Fazri. Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum.
Tapi yang jelas, bagiku Bang Fazri adalah idola sekaligus pelindungku. Setiap
kali berjalan berdua hatiku begitu bangga. Rasanya akulah orang yang paling
bahagia di dunia.
Pernah pula ada teman berkomentar: “Nur
,kalian kok lebih mirip abang adik dari pada pacaran ? Soalnya wajah kalian
mirip sekali sih”.
“Ah..., masak ia sih aku mirip dengan Bang Fazri
?” Aku balik bertanya.
“Iya, tanya saja pada orang
lain !”
Dengan hati penuh penasaran
akupun berlalu dari hadapannya. “Masak iya sih aku mirip Bang Fazri”, kata
hatiku.
Kian hari Bang Fazri semakin
memberikan perhatian ekstra kepadaku. Setiap pagi ia selalu menelponku untuk
segera bangun dan mengigatkan jangan lupa sarapan. Bila dia punya waktu
senggang, ia selalu bercerita padaku
melalui layanan pesan singkat (SMS). Setiap kali aku berbuat salah, dia selalu
menasehatiku. Setiap kali bimbang tentang suatu hal, dia selalu memberikan aku
jalan dengan memberikan saran-saran yang sangat bermutu. Sikapnya yang sangat
dewasa itu membuatku semakin mengaguminya.
Bang Fazri telah menjelma
sebagai orang yang istimewa dalam hidupku. Dia selalu setia menemaniku di saat
senang maupun susah. Kini hampir semua teman di kelasku mengetahui bahwa Bang
Fazri adalah “body guard” ku karena selalu menjaga dan melindungiku.
Namun pada suatu hari, saat aku berada di depan
kelas, secara tiba–tiba ada seorang
kakak kelas datang menghampiriku. Papan nama di dadanya bertuliskan: CINDY. Sambil marah-marah ia melabrakku. Dia berkata,
“Jauhi Bang Fazri! Aku gak mau kau
rebut dia dariku.”
Tentu saja aku terkejut bukan
kepalang dibuatnya. Dengan sedikit bingung aku berkata, “Apa maksud Kakak ? Siapa
yang saya rebut dari kakak ?”
Setelah emosinya sedikit mereda,
akhirnya kakak tersebut menjelaskan bahwa dia adalah pacar Bang Fazri.
Laksana petir di siang-bolong,
akupun semakin terkejut mendengarnya. Rasanya badanku seperti sempoyongan dan
tak sanggup lagi untuk berdiri. Tetapi aku
segera mengatasi segala perasaan yang berkecamuk di dalam hati.
Ternyata selama ini Kak Cindy
merasa aku telah merebut Bang Fazri darinya. Melihat kedekatan kami dan
perhatian Bang Fazri terhadapku, Kak Cindy menganggap aku adalah pacar barunya
Bang Fazri.
Entah kenapa akupun merasa
kurang terima karena dituduh merebut Bang Fazri. Dengan sedikit emosi aku
membela diri. Tapi sayangnya, itu malah membangkitkan kembali emosi Kak Cindy.
Kami terlibat adu mulut dan bertengkar hebat. Seakan tak ada yang mau mengalah.
Masing-masing merasa paling benar. Sampai akhirnya pertengkaran itu dihentikan
oleh bunyi bel dan Kak Cindypun berlalu meninggalkanku dengan raut wajah yang
memancarkan kekesalan hatinya.
Rupanya berita pertengkaran tadi sampai juga ke
telinga Bang Fazri . Ia ingin segera menjelaskan duduk persoalannya. Bang Fazri
mengajakku bertemu di warung bakso dekat sekolah sepulangnya nanti.
Akupun menuruti ajakan Bang
Fazri. Ternyata sebelum kami berdua tiba, Kak Cindy sudah menunggu di sana. Wajahnya
tampak cemberut masam. Aku berusaha menenteramkan suasana hatiku yang juga
masih belum menentu.
Melihat sikap kami begitu, Bang
Fazri hanya tersenyum kecil sambil berkata, “Sudahlah, jangan seperti anak kecil!
Sekarang, dengarkan dulu penjelasanku!”
Setelah Bang Fazri bercerita,
barulah aku dan Kak Cindy tahu kalau dulu ia mempunyai adik yang mirip sekali
denganku. Baik wajah maupun sifat-sifatku
membuat ia teringat akan adiknya itu. Menurut Bang Fazri, semua nyaris
sama.
Adik Bang Fazri tersebut
bernama Dinda. Ia telah meninggal dunia setahun yang lalu akibat kecelakaan
lalu-lintas saat dibonceng ayah mereka dalam perjalanan menuju ke sekolah.
Kulihat mata bang Fazri
berkaca-kaca saat ia mengingat kembali kejadian itu. Dia begitu terpukul saat
kehilangan adik satu-satunya itu. Sampai akhirnya ia bertemu denganku. Baginya,
aku adalah pengganti adiknya yang telah pergi untuk selamanya.
Kini akupun mengerti kenapa
selama ini bang Fazri begitu memperhatikanku. Walau sedikit kecewa aku menerima
kenyataan bahwa pacar Bang Fazri adalah
Kak Cindy. Sedangkan aku hanyalah sebagai pengganti adiknya. Tapi itu justru jauh
lebih bermakna dan memberikan keindahan tersendiri bagiku. Sebab memang
selayaknyalah aku menjadi adik untuk mereka berdua. Bang Fazri dan Kak Cindy.
Akhirnya aku dan Kak Cindypun
saling bermaaf-maafan. Dua hati yang tadi sempat memanas, kini sudah kembali
dingin. Tiga mangkuk bakso di hadapan kami juga sudah hampir dingin. Kami harus
segera menyantapnya.(*)
Cerpen Hadijah Nur Islami Siregar
Antara Aku, Bang Fazri dan Kak Cindy
-----------------------------------------------
Oleh : Hadijah Nur Islami Siregar
Namaku Nur Ikhwani. Biasa
dipanggil Nuri. Kata ayahku, ‘nur’ berarti cahaya. Sedangkan ‘ikhwani’ artinya saudaraku.
Aku
merupakan putri sulung dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Sebagai
anak pertama, menurut penuturan ayah, dengan nama yang ku sandang itu beliau
berharap agar aku dapat menjadi ‘cahaya’ bagi ‘saudara-saudaraku’. Bahkan
‘cahaya persaudaraan’ pada umumnya. Aku sangat bangga karena mempunyai nama
yang memiliki makna yang sangat mendamaikan dan berusaha agar nama tidak hanya
menjadi pajangan tanpa dapat menunjukkan arti dan mewujudkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Saat
ini aku adalah seorang siswi di SMP Negeri 1 Lubuk Pakam, Kabupaten Deli
Serdang, Sumatera Utara. Tepatnya, aku duduk di bangku kelas VII Bilingual-1.
Sebuah kelas di mana kegiatan belajar mengajarnya menggunakan dua bahasa, yakni
bahasa Inggris dan Indonesia. Karena kami masih kelas VII , jadi masih lebih
sering memakai bahasa Indonesianya.
Memasuki
bulan kedua bersekolah di SMP aku berkenalan dengan seorang ‘abangkelas’. Ketika
itu, oleh karena tak sempat sarapan di rumah maka begitu bel tanda istirahat
pertama berbunyi, secara spontan aku bergegas menuju kantin. Aku menjadi orang
pertama yang sampai di sana. Perutku benar-benar keroncongan minta diisi.
Segera ku pesan sepiring
lontong sayur kepada Ibu Kantin. Dan tak lama kemudian beliaupun menyodorkan
pesanan itu ke hadapanku. Tentu saja aku pun langsung menyantapnya tanpa menghiraukan
lagi suasana kantin yang mulai dipenuhi kerumunan siswa-siswi yang lain.
“Wah, enak sekali makannya, ya
Dik”. Tiba-tiba terdengar sapaan yang ditujukan kepadaku.
Dengan sedikit tersipu malu
aku menengadahkan wajah untuk menatap si pemilik suara. Ternyata dia adalah seorang
cowok yang duduk persis di depanku. Di bajunya tersemat gambar bintang sebanyak
tiga buah dan berwarna hijau yang menunjukkan bahwa ia sudah kelas sembilan.Senyumnya
yang simpati dan gayanya yang ramah serta wajahnya yang tampan membuatku jadi
serba salah
“He-he-he, iya Bang. Tadi gak
sempat sarapan”, ucapku seadanya, sembari menyeruput beberapa teguk air putih
dari dalam gelas yang sebelumnya telah aku persiapkan.
“O ya, Abang udah pesan makanan
? Nanti keburu bel masuk lho !?” lanjutku beberapa detik kemudian. “Lagi pula
sudah hampir habis makanan yang ada di kantin,” lanjutku dengan tergesa-gesa.
“Cuma beli roti aja. Nih, baru
habis juga,” jawabnya sambil memperlihatkan sebuah plastik bekas bungkus roti berukuran
agak besar yang berada di tangan kanannya. Sekali lagi aku tersipu malu. Sebab
itu berarti sudah lumayan lama pula ia duduk dan memperhatikanku sewaktu
melahap sepiring lontong tadi.
“Nama Abang, Fazri. Kalau Adik,
siapa ?”
“Nur Ikhwani, Bang”, jawabku
sedikit gugup.
Selanjutnya kami pun ngobrol tentang
berbagai hal. Terutama yang berkaitan dengan keadaan di sekolah. Tentang sesiapa
dan bagaimana sifat guru ini dan guru itu yang mengajar di kelas masing-masing.
Saling bertanya dan saling menjawab. Bahkan sama sekali tanpa rasa canggung dan
sungkan-sungkan lagi. Seakan-akan kami telah saling mengenal sejak lama. Hingga
tak terasa, bel tanda jam istirahat berakhir baru saja berdering dan kami harus
segera beranjak meninggalkan kantin untuk kembali ke ruang kelas.
Hari-hari berikutnya
hubunganku dengan Bang Fazri pun bertambah dekat dan kian akrab. Semakin sering
ia sengaja menemuiku. Malah akhir-akhir ini hampir tiap hari. Entah itu di
kantin sekolah atau terkadang datang ke kelasku pada jam-jam istirahat sedang berlangsung.
Bahkan tak jarang pula ia mengantarkan aku pulang ke rumahku. Dan sering pula
ia mengajariku materi-materi pelajaran yang sulit aku megerti. Dengan sangat
sabar ia menjelaskan materi pelajaranku itu.
Pernah dia bercerita padaku
bahwa dia sudah menganggapku sebagai anggota dari keluarganya sendiri. bahkan
dia sendiri berkata kalau pintu rumahnya selalu terbuka untukku. Aku
memandangnya sebagai orang yang mandiri dan berpikiran dewasa. Dan sifatnya
sangat santun kepada siapa pun.
Hari-haripun berlalu tanpa
terasa .Kami menjadi semakin dekat dan terus bertambah akrab . Di mana ada Bang
Fazri, di situ pasti ada aku.
Pernah ada teman yang bertanya
tentang hubunganku dengan Bang Fazri. Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum.
Tapi yang jelas, bagiku Bang Fazri adalah idola sekaligus pelindungku. Setiap
kali berjalan berdua hatiku begitu bangga. Rasanya akulah orang yang paling
bahagia di dunia.
Pernah pula ada teman berkomentar: “Nur
,kalian kok lebih mirip abang adik dari pada pacaran ? Soalnya wajah kalian
mirip sekali sih”.
“Ah..., masak ia sih aku mirip dengan Bang Fazri
?” Aku balik bertanya.
“Iya, tanya saja pada orang
lain !”
Dengan hati penuh penasaran
akupun berlalu dari hadapannya. “Masak iya sih aku mirip Bang Fazri”, kata
hatiku.
Kian hari Bang Fazri semakin
memberikan perhatian ekstra kepadaku. Setiap pagi ia selalu menelponku untuk
segera bangun dan mengigatkan jangan lupa sarapan. Bila dia punya waktu
senggang, ia selalu bercerita padaku
melalui layanan pesan singkat (SMS). Setiap kali aku berbuat salah, dia selalu
menasehatiku. Setiap kali bimbang tentang suatu hal, dia selalu memberikan aku
jalan dengan memberikan saran-saran yang sangat bermutu. Sikapnya yang sangat
dewasa itu membuatku semakin mengaguminya.
Bang Fazri telah menjelma
sebagai orang yang istimewa dalam hidupku. Dia selalu setia menemaniku di saat
senang maupun susah. Kini hampir semua teman di kelasku mengetahui bahwa Bang
Fazri adalah “body guard” ku karena selalu menjaga dan melindungiku.
Namun pada suatu hari, saat aku berada di depan
kelas, secara tiba–tiba ada seorang
kakak kelas datang menghampiriku. Papan nama di dadanya bertuliskan: CINDY. Sambil marah-marah ia melabrakku. Dia berkata,
“Jauhi Bang Fazri! Aku gak mau kau
rebut dia dariku.”
Tentu saja aku terkejut bukan
kepalang dibuatnya. Dengan sedikit bingung aku berkata, “Apa maksud Kakak ? Siapa
yang saya rebut dari kakak ?”
Setelah emosinya sedikit mereda,
akhirnya kakak tersebut menjelaskan bahwa dia adalah pacar Bang Fazri.
Laksana petir di siang-bolong,
akupun semakin terkejut mendengarnya. Rasanya badanku seperti sempoyongan dan
tak sanggup lagi untuk berdiri. Tetapi aku
segera mengatasi segala perasaan yang berkecamuk di dalam hati.
Ternyata selama ini Kak Cindy
merasa aku telah merebut Bang Fazri darinya. Melihat kedekatan kami dan
perhatian Bang Fazri terhadapku, Kak Cindy menganggap aku adalah pacar barunya
Bang Fazri.
Entah kenapa akupun merasa
kurang terima karena dituduh merebut Bang Fazri. Dengan sedikit emosi aku
membela diri. Tapi sayangnya, itu malah membangkitkan kembali emosi Kak Cindy.
Kami terlibat adu mulut dan bertengkar hebat. Seakan tak ada yang mau mengalah.
Masing-masing merasa paling benar. Sampai akhirnya pertengkaran itu dihentikan
oleh bunyi bel dan Kak Cindypun berlalu meninggalkanku dengan raut wajah yang
memancarkan kekesalan hatinya.
Rupanya berita pertengkaran tadi sampai juga ke
telinga Bang Fazri . Ia ingin segera menjelaskan duduk persoalannya. Bang Fazri
mengajakku bertemu di warung bakso dekat sekolah sepulangnya nanti.
Akupun menuruti ajakan Bang
Fazri. Ternyata sebelum kami berdua tiba, Kak Cindy sudah menunggu di sana. Wajahnya
tampak cemberut masam. Aku berusaha menenteramkan suasana hatiku yang juga
masih belum menentu.
Melihat sikap kami begitu, Bang
Fazri hanya tersenyum kecil sambil berkata, “Sudahlah, jangan seperti anak kecil!
Sekarang, dengarkan dulu penjelasanku!”
Setelah Bang Fazri bercerita,
barulah aku dan Kak Cindy tahu kalau dulu ia mempunyai adik yang mirip sekali
denganku. Baik wajah maupun sifat-sifatku
membuat ia teringat akan adiknya itu. Menurut Bang Fazri, semua nyaris
sama.
Adik Bang Fazri tersebut
bernama Dinda. Ia telah meninggal dunia setahun yang lalu akibat kecelakaan
lalu-lintas saat dibonceng ayah mereka dalam perjalanan menuju ke sekolah.
Kulihat mata bang Fazri
berkaca-kaca saat ia mengingat kembali kejadian itu. Dia begitu terpukul saat
kehilangan adik satu-satunya itu. Sampai akhirnya ia bertemu denganku. Baginya,
aku adalah pengganti adiknya yang telah pergi untuk selamanya.
Kini akupun mengerti kenapa
selama ini bang Fazri begitu memperhatikanku. Walau sedikit kecewa aku menerima
kenyataan bahwa pacar Bang Fazri adalah
Kak Cindy. Sedangkan aku hanyalah sebagai pengganti adiknya. Tapi itu justru jauh
lebih bermakna dan memberikan keindahan tersendiri bagiku. Sebab memang
selayaknyalah aku menjadi adik untuk mereka berdua. Bang Fazri dan Kak Cindy.
Akhirnya aku dan Kak Cindypun
saling bermaaf-maafan. Dua hati yang tadi sempat memanas, kini sudah kembali
dingin. Tiga mangkuk bakso di hadapan kami juga sudah hampir dingin. Kami harus
segera menyantapnya.(*)
Langganan:
Postingan (Atom)